Diam-diam, Kecamatan Turen punya produk unggulan yang berkelas. Yaitu keripik singkong dan keripik pisang Cap Lumba-lumba. Tidak hanya dikonsumsi masyarakat Malang Raya saja, tapi produk ini juga ‘diekspor’ se Jawa – Bali. Pabrik keripik singkong milik Sucipto ini barangkali menjadi yang terbesar di wilayah Malang Raya, bahkan mungkin di Jawa Timur. Kapasitas produksinya saat ini mencapai tiga ton per hari.
Tapi, jauh sebelum menjadi pengusaha besar seperti sekarang ini, Sucipto pernah hidup sangat miskin.
Sucipto kemudian menceritakan awal mula usahanya sehingga bisa besar seperti sekarang ini. Awalnya ia merupakan tengkulak buah-buahan, seperti jeruk, salak dan kelapa. Di tengah usahanya ia melakukan tirakat. Dalam proses itu ia memperoleh ‘bisikan’ bahwa semua keuntungan dan hartanya harus disumbangkan sampai habis, hingga tersisa rumah dan selembar tikar saja.
Sementara untuk menyambung hidup, Sucipto memilih untuk bekerja sebagai kuli batu dan buruh tani. Pekerjaan itu ia lakoni selama lima tahun.Hingga akhirnya, di tahun 2001, Sucipto mendapatkan ide untuk membuka usaha pembuatan keripik. Tekadnya bulat, meski ia tak memiliki cukup uang untuk memulai sebuah usaha.
Solusinya adalah pinjam sana-pinjam sini. “Saya ngebon bahan baku singkong dari petani. Minyaknya ngebon dari toko. Wajan penggorengannya juga pinjam, dari saudara,” kata pria 51 tahun ini.
Akhirnya ia berdiskusi dengan istrinya untuk membuat usaha keripik singkong tahun 2001 lalu. Saat itu ia tidak pernah berfikir usahanya akan menjadi sebesar ini. Tanpa modal besar, Ia membeli singkong untuk diolah. “Untuk peralatan pengolahan, saya minta sama teman. Piringan serkel (alat gergaji kayu) yang sudah aus dan tidak terpakai, dan dinamo di bengkel teman. Jujur saya meminta mereka. Kalau wajan (alat menggoreng, red) meminjam adik saya,” ceritanya.
Pada awalnya, Keripik-keripik singkong yang tanpa merk itu dipasarkan sendiri oleh Sucipto. Door to door, keliling kampung.
“Alhamdulillah, dalam waktu sekitar dua jam, barang dagangan saya terjual habis,” ujar dia.
Dari situ, Sucipto seolah melihat secercah harapan dari bisnis yang baru ia rintis itu. Apalagi, dari keliling kampung itu, Sucipto mendapatkan relasi-relasi baru dari pedagang yang siap membantu pemasaran produknya.Bisnis itu terus berkembang. Sucipto pun memiliki berpikir soal brand saat ada pihak dari Dinas Kesehatan yang mendatangi pabriknya, 2004 silam.
“Ketika mencari merk apa yang cocok, saya teringat dengan momen saat melihat kawanan lumba-lumba di Pantai Ngliyep,” kata pria kelahiran 29 Agustus 1965 itu.
Kini, usaha keripik cap lumba-lumba itu berkembang besar hingga memiliki 187 pegawai. Setiap harinya, pabrik milik Sucipto itu rata-rata memproduksi tiga ton keripik.
Setelah berhasil mengembangkan usaha keripik singkong sampai sebesar sekarang, Sucipto tak lupa menyisihkan pendapatan yang ia terima untuk sedekah.
Selama delapan tahun, terhitung sejak 2009 hingga sekarang, Sucipto sudah mengeluarkan Rp 2 miliar untuk membangun Masjid Ageng Raden Bagus di seberang rumahnya. Proses pembangunan masjid seluas 832 meter persegi itu masih terus berlangsung.
Tak hanya masjid saja, Sucipto juga punya andil dalam pengembangan kawasan Candi Jawar di Dusun Kaliputih, Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampelgading. Di sana, dia membangun sebuah pendapa.“Tujuannya, supaya pengunjung bisa berteduh saat cuacanya panas, atau saat turun hujan,” kata bapak empat anak ini.
Kemudian, di tahun 2012, dia juga mengeluarkan uang Rp 175 juta untuk membangun PAUD-TK Raden Bagus, di Talok, Turen.
Lalu, Sucipto juga membeli lahan seluas 9 hektar di Gunung Prekul, Desa Gedangan, dan lahan seluas 5 hektar di kawasan Gunung Putri, Dampit. Lahan berhektar-hektar itu sengaja ia beli untuk reboisasi.